
Indonesia dengan ratusan
ribu mahasiswa tersebar dari sabang sampai merauke. Apa yang mau di cari
mahasiswa di perguruan tinggi? Mengapa memilih Perguruan Tinggi Negeri? Mengapa fokus di Perguruang Tinggi Swasta? Kenapa
harus jurusan 'A, B, dan C'? Lalu jawaban pemikiran skeptis bermunculan
dengan sendirinya….
- Mungkin kota 'A' tempat berlabuhnya hati ini untuk meraih semua cita-cita yang belum terealisasikan.
- Universitas 'B' sajalah, karena masuk Perguruan Tinggi Negeri terbaik di Indonesia.
- Jurusannya yang diinginkan hanya ada di Fakultas 'C'. Rumor yang beredar juga membicarakan karena mudah mendapat IP yang ‘not bad’.
Fase pertama menjadi
mahasiswa baru suatu perguruan tinggi merupakan
anugerah sekaligus ujian hidup. Saat di genggam titel baru maba, bisa dilihat
begitu banyaknya mahasiswa tingkat atas mendekati. Untuk dasar apakah? Tentunya
bukan untuk urusan soal perasaan. Ini soal ‘pe-rekrutan’. Seluruh lembaga
kemahasiswaan di fakultas-fakultas kampus memenuhi mading-mading menyerukan semboyan yang paling terngiang di telinga ini yaitu ‘Open
Recruitmen’ sampai membuat hampir seluruh maba berlomba mengikuti kegiatan kepanitiaan
tersebut tanpa menelaah akibat postif dan negatif. Kemudian awal pemikiran
skeptis muncul dari sini. Seolah bangga
karena bisa mengikuti screening dari ‘Open Recruitmen’ memicu maba untuk ambis
bisa masuk ke dalam organisasi dan kepanitiaan yang diselenggarakan di kampus.
Fase kedua dimana maba
senang menerima pesan lewat 12 digit nomor yang tidak diketahui pengirimnya
yang berbunyi seperti ini: ‘-*******- SELAMAT! ANDA DI TERIMA DALAM
KEPANITIAN/STAFF MUDA ******. RAPAT PERDANA AKAN DISELENGGARAKAN PADA SENIN, 4
APRIL 2016, PUKUL 18.00 DI BASEMENT GEDUNG A. KONFIRMASI KEHADIRAN.
#**************’ dan kemudian maba semangat untuk menghadiri rapat tersebut
dengan pemikiran skeptis kedua yaitu mahasiswa yang seharusnya sibuk organisasi agar tidak menjadi mahasiswa ‘kupu-kupu’ (kuliah-pulang). Berangkat dengan
pemikiran skeptis itu, maba mencoba ingin ‘eksis’ di kampusnya dengan menata penampilannya menjadi lebih ‘high’. Pria dengan menebarkan pesona
kewibawaan dan wanita menampilkan make-up
yang diingkannya seperti yang di lihat di televisi. Mencoba ingin ‘tenar’
namun tidak semua maba memiliki keahlian yang baik dalam kegiatan ke-organisasian
tersebut. Mereka hanya mencoba untuk tetap menjaga fokus ke-eksisan diri demi
terpuaskannya hasrat dipandang banyak orang. Menampilkan hal terbaik di luar
pribadi dengan keahlian di bawah rata-rata. Miris, karena dasar pemikiran
skeptis kedua menuai hal yang mengerikan ketiga untuk diri mahasiwa baru.
Fase ketiga dimana
maba tidak puas hanya dengan satu organisasi/kepanitian yang dimiliki kemudian
mencoba ke-organisasian mahasiswa lainnya. Dengan dasar alasan ‘sudah
berkontribusi pada kegiatan ‘A’ jadi harus mencoba hal baru ‘B’ agar
mengembangkan soft-skill. Apa yang dituai pertama kali dalam pemikiran skeptis,
memicu tumbuhnya akar-akar skeptis lainnya. Lalu, apakah
maba paham betul arti dari mengembangkan soft skill? Jawabannya adalah TIDAK.
Karena tidak semua mahasiswa memahami betul hal ini. Mereka seolah mencoba
hal-hal baru di organisasi satu dan organisasi lainnya. Padahal mengembangkan
soft skill itu berfokus pada satu titik tujuan kemudian mengerjakan dengan baik
dan bertanggungjawab lalu meningkatkan hasil dari pekerjaan awal dan mengarah
ke tingkat selanjutnya. Bukannya ikut organisasi sana sini mencari sebanyak
mungkin agar terkenal seperti aktivis kampus yang mereka tidak tahu sendiri arti dari 'aktivis kampus', tetapi keahliannya dalam
organisasi masih berantakan. Seperti tikus yang tidak puas dengan lobang got
yang digali kemudian pindah ke got lainnya dengan meninggalkan lubang
berantakan yang belum sempurna.
Setelah melewati fase-fase skeptis, maba kemudian mengacuhkan lingkungan (Apatis) di kampusnya. Mengesampingkan kuliah, mulai mencoba ‘titip-absen’, masa bodo dengan teman, mengkritisi dosen saja tidak berani, yang penting lulus, 'urusanku bukan urusanmu', menghiraukan lingkungan kampus jika sesuatu sedang terjadi, dan lain sebagainya. Inilah puncak dari hasil pemikiran skeptis, yaitu menjadi Mahasiswa Apatis. Asik dengan kegiatan progam kerja/event pada organisasinya sampai lupa jati diri sebagai mahasiswa Indonesia. Bukannya menelaah hal apa yang terjadi di kampus dalam lingkup akademik atau sekedar menelusuri sudah rapihkah administrasi atau adakah permasalahan di kampusku? Atau sekedar turun ke jalan menyuarakan hak-hak masyarakat Indonesia yang masih ‘amburadul’ dan mengkritik kinerja pemerintah yang belum baik. Malah asik dengan cari organisasi sana-sini. Namun, mengunci mulut seolah bisu, menutup mata seolah buta, dan berpura-pura tidak mendengar seolah tuli. Berbagai alasan mengapa takut turun 'ke jalan' menelisik di telinga; malu ah, ih bodo amat, capek teriak-teriak, di gaji juga enggak, mereka ini yang menderita bukan gue, dan lain-lain.

Kemudian apa yang
harus jadi perenungan? Mahasiswa bukan hanya sekedar titel kebanggaan. Namun suatu
tanggung jawab besar sebagai generasi bangsa untuk Indonesia yang lebih baik. Kuliah
itu utama, soft-skill itu diperlukan, dan peka terhadap lingkungan
kampus/masyarakat merupakan harapan. Jangan sampai pemikiran skeptis menjadikan
pentingnya ber-organisasi terlihat buram serta terfokus pada event-event semata. Pengembangan diri dalam 'soft-skill' itu diperlukan untuk belajar dalam menghadapi situasi-situasi di kampus dan lingkungan sekitar. Bukan menjadikannya menjadi pola hidup mahasiswa yang apatis. Karena apatisnya mahasiswa merupakan
boomerang untuk pribadi diri sendiri. Apatisme menjatuhkan martabat dan harga diri
seorang Mahasiswa. Buang segala keraguan terhadap proses yang sudah dijalani (Skeptis)
bukan mengacuhkan segala sesuatu yang harusnya diperjuangkan dan dibela (Apatis)
tetapi lakukan segala sesuatu dalam lingkup dunia kampus dengan fokus, kesungguhan, dan tanggungjawab sebagai Mahasiswa agar mencapai integritas diri dan untuk kepentingan banyak orang terutama di lingkup kampus dan masyarakat. Karena Skeptis Menjadi Apatis.
#UntukMahasiswaIndonesiaLebihBaik
written by:
Hartati Vidiana (April, 2016)
0 komentar:
Posting Komentar