OPINI: KARENA SKEPTIS MENJADI APATIS

Indonesia dengan ratusan ribu mahasiswa tersebar dari sabang sampai merauke. Apa yang mau di cari mahasiswa di perguruan tinggi? Mengapa memilih Perguruan Tinggi Negeri? Mengapa fokus di Perguruang Tinggi Swasta? Kenapa harus jurusan 'A, B, dan C'? Lalu jawaban pemikiran skeptis bermunculan dengan sendirinya….
  1. Mungkin kota 'A' tempat berlabuhnya hati ini untuk meraih semua cita-cita yang belum terealisasikan.
  2. Universitas 'B' sajalah, karena masuk Perguruan Tinggi Negeri terbaik di Indonesia.
  3. Jurusannya yang diinginkan hanya ada di Fakultas 'C'. Rumor yang beredar juga membicarakan karena mudah mendapat IP yang ‘not bad’.
Tiga jawaban tersebut mewakili rata-rata pemikiran skeptis untuk menjawab pertanyaan beruntun di atas. Tetapi, jawaban demikian juga mewakili gambaran ‘rupa’ mahasiswa Indonesia (yang) Apatis. Mengapa demikian? Fase-fase berikut menjawabnya:

Fase pertama menjadi mahasiswa baru suatu perguruan tinggi merupakan anugerah sekaligus ujian hidup. Saat di genggam titel baru maba, bisa dilihat begitu banyaknya mahasiswa tingkat atas mendekati. Untuk dasar apakah? Tentunya bukan untuk urusan soal perasaan. Ini soal ‘pe-rekrutan’. Seluruh lembaga kemahasiswaan di fakultas-fakultas kampus memenuhi mading-mading menyerukan semboyan yang paling terngiang di telinga ini yaitu ‘Open Recruitmen’ sampai membuat hampir seluruh maba berlomba mengikuti kegiatan kepanitiaan tersebut tanpa menelaah akibat postif dan negatif. Kemudian awal pemikiran skeptis muncul dari sini. Seolah bangga karena bisa mengikuti screening dari ‘Open Recruitmen’ memicu maba untuk ambis bisa masuk ke dalam organisasi dan kepanitiaan yang diselenggarakan di kampus.

Fase kedua dimana maba senang menerima pesan lewat 12 digit nomor yang tidak diketahui pengirimnya yang berbunyi seperti ini: ‘-*******- SELAMAT! ANDA DI TERIMA DALAM KEPANITIAN/STAFF MUDA ******. RAPAT PERDANA AKAN DISELENGGARAKAN PADA SENIN, 4 APRIL 2016, PUKUL 18.00 DI BASEMENT GEDUNG A. KONFIRMASI KEHADIRAN. #**************’ dan kemudian maba semangat untuk menghadiri rapat tersebut dengan pemikiran skeptis kedua yaitu mahasiswa yang seharusnya sibuk organisasi agar tidak menjadi mahasiswa ‘kupu-kupu’ (kuliah-pulang). Berangkat dengan pemikiran skeptis itu, maba mencoba ingin ‘eksis’ di kampusnya dengan menata penampilannya menjadi lebih ‘high’. Pria dengan menebarkan pesona kewibawaan dan wanita menampilkan make-up yang diingkannya seperti yang di lihat di televisi. Mencoba ingin ‘tenar’ namun tidak semua maba memiliki keahlian yang baik dalam kegiatan ke-organisasian tersebut. Mereka hanya mencoba untuk tetap menjaga fokus ke-eksisan diri demi terpuaskannya hasrat dipandang banyak orang. Menampilkan hal terbaik di luar pribadi dengan keahlian di bawah rata-rata. Miris, karena dasar pemikiran skeptis kedua menuai hal yang mengerikan ketiga untuk diri mahasiwa baru.

Fase ketiga dimana maba tidak puas hanya dengan satu organisasi/kepanitian yang dimiliki kemudian mencoba ke-organisasian mahasiswa lainnya. Dengan dasar alasan ‘sudah berkontribusi pada kegiatan ‘A’ jadi harus mencoba hal baru ‘B’ agar mengembangkan soft-skill. Apa yang dituai pertama kali dalam pemikiran skeptis, memicu tumbuhnya akar-akar skeptis lainnya. Lalu, apakah maba paham betul arti dari mengembangkan soft skill? Jawabannya adalah TIDAK. Karena tidak semua mahasiswa memahami betul hal ini. Mereka seolah mencoba hal-hal baru di organisasi satu dan organisasi lainnya. Padahal mengembangkan soft skill itu berfokus pada satu titik tujuan kemudian mengerjakan dengan baik dan bertanggungjawab lalu meningkatkan hasil dari pekerjaan awal dan mengarah ke tingkat selanjutnya. Bukannya ikut organisasi sana sini mencari sebanyak mungkin agar terkenal seperti aktivis kampus yang mereka tidak tahu sendiri arti dari 'aktivis kampus', tetapi keahliannya dalam organisasi masih berantakan. Seperti tikus yang tidak puas dengan lobang got yang digali kemudian pindah ke got lainnya dengan meninggalkan lubang berantakan yang belum sempurna.


Setelah melewati fase-fase skeptis, maba kemudian mengacuhkan lingkungan (Apatis) di kampusnya. Mengesampingkan kuliah, mulai mencoba ‘titip-absen’, masa bodo dengan teman, mengkritisi dosen saja tidak berani, yang penting lulus, 'urusanku bukan urusanmu', menghiraukan lingkungan kampus jika sesuatu sedang terjadi, dan lain sebagainya. Inilah puncak dari hasil pemikiran skeptis, yaitu menjadi Mahasiswa Apatis. Asik dengan kegiatan progam kerja/event pada organisasinya sampai lupa jati diri sebagai mahasiswa Indonesia. Bukannya menelaah hal apa yang terjadi di kampus dalam lingkup akademik atau sekedar menelusuri sudah rapihkah administrasi atau adakah permasalahan di kampusku? Atau sekedar turun ke jalan menyuarakan hak-hak masyarakat Indonesia yang masih ‘amburadul’ dan mengkritik kinerja pemerintah yang belum baik. Malah asik dengan cari organisasi sana-sini. Namun, mengunci mulut seolah bisu, menutup mata seolah buta, dan berpura-pura tidak mendengar seolah tuli. Berbagai alasan mengapa takut turun 'ke jalan' menelisik di telinga; malu ah, ih bodo amat, capek teriak-teriak, di gaji juga enggak, mereka ini yang menderita bukan gue, dan lain-lain.

 

Kemudian apa yang harus jadi perenungan? Mahasiswa bukan hanya sekedar titel kebanggaan. Namun suatu tanggung jawab besar sebagai generasi bangsa untuk Indonesia yang lebih baik. Kuliah itu utama, soft-skill itu diperlukan, dan peka terhadap lingkungan kampus/masyarakat merupakan harapan. Jangan sampai pemikiran skeptis menjadikan pentingnya ber-organisasi terlihat buram serta terfokus pada event-event semata. Pengembangan diri dalam 'soft-skill' itu diperlukan untuk belajar dalam menghadapi situasi-situasi di kampus dan lingkungan sekitar. Bukan menjadikannya menjadi pola hidup mahasiswa yang apatis. Karena apatisnya mahasiswa merupakan boomerang untuk pribadi diri sendiri. Apatisme menjatuhkan martabat dan harga diri seorang Mahasiswa. Buang segala keraguan terhadap proses yang sudah dijalani (Skeptis) bukan mengacuhkan segala sesuatu yang harusnya diperjuangkan dan dibela (Apatis) tetapi lakukan segala sesuatu dalam lingkup dunia kampus dengan fokus, kesungguhan, dan tanggungjawab sebagai Mahasiswa agar mencapai integritas diri dan untuk kepentingan banyak orang terutama di lingkup kampus dan masyarakat. Karena Skeptis Menjadi Apatis. #UntukMahasiswaIndonesiaLebihBaik





written by: Hartati Vidiana (April, 2016)

MANUSIA BARU

Bacaan dari Yesaya 61:1 dan Roma 8:1
Yesaya 61:1 = “Roh Tuhan  Allah ada padaku, oleh karena Tuhan telah mengurapi aku: Ia telah megutus aku untuk meyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara,”
Roma 8:1 = “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.”

Hasil gambar untuk manusia baru kristen
Penjelasan
        Vonis adalah suatu tuntutan dan hukuman bagi seorang bersalah/biasa disebut terdakwa dalam suatu kasus. Dalam hukum yang dibuat manusia sendiri, orang yang divonis bersalah pasti orang yang benar-benar melakukan tindak kejahatan yang sudah menyangkut kriminalitas yang bagi masyarakat sudah dianggap sebelah mata. Berbagai jenis vonis/hukuman untuk manusia yang melakukan tindak kejahatan. Vonis akhir didalam hukum adalah MATI. Padahal mati adalah kehendak Tuhan. Mereka yang diberi vonis tersebut pasti kejahatannya sudah tidak dapat dirolerir.

        Apa yang mau disampaikan firman Tuhan pada nats diatas? Perikop yang sudah tadi dibaca ingin menegaskan bahwa kita umat manusia adalah terdakwa yang harusnya mendapat vonis mati untuk segala dosa yang telah kita perbuat. Sadarkah kita bahwa kita melakukan dosa dengan sengaja? Penghukuman kita adalah kematian!

       Apa yang kita buat dalam dosa sebenarnya tidak dapat ditolerir. Tuhan satu-satunya Hakim Yang Agung dan selalu Benar. Apa yang Ia vonis untuk kita? KEBEBASAN! Kita divonis bebas dari segala dosa yang harusnya kita tanggung dalam kematian. Lewat anakNya, Yesus Kristus hukuman yang harus kita laksanakan sudah ditebus dengan harga mati di kayu Salib. Vonis bebas ini sebenarnya bukan untuk membenarkan kita dari kejahatan namun lebih kepada rasa kasih besar Allah untuk manusia! pengampunanNya yang memvonis kita bebas.

      Apa yang harus kita lakukan sebagai terdakwa yang tervonis bebas? Tentunya adalah pasti bertaubat dan hidup dalam kasihNya serta melakukan sesuatu sesuai kehendakNya. Pengharapan kepadaNya adalah yang terutama seperti didalam Roma 12:12 “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan dan bertekunlah dalam doa!”. Segala pergumulan dalam dosa dapat lenyap karena pengharapan didalam Tuhan yang telah memberi kita jaminan keselamatan yang kongkret.

      Lalu, setiap pengharapan pasti terdapat rencana manusia untuk kearah masa depan kehidupan baru setelah tervonis bebas. Namun semua rencana akan sia-sia jika tidak melibatkan Tuhan. Seperti ditulis dalam kitab Yakobus 4:15 -  Sebenarnya kamu harus berkata : ‘Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.’ Perikop tersebut menegaskan kita kembali untuk tetap berpegang teguh pada apa yang Tuhan kehendaki.



Hasil gambar untuk manusia baru kristen
Kesimpulan:
Hiduplah sebagai manusia baru dan dalam pengharapan penuh di dalam Tuhan, rencanakan hidupmu dalam masa depan indah sebab Tuhan tau apa yang anak-anakNya butuhkan. Hidup baru bukan soal bertaubat dan kembali ke jalan Kristus saja, namun tetap mempertahankan Kristus sebagai kepala hidup kita. Hidup baru membuka pikiran kita untuk menjadi Manusia Baru yang bermartabat dan berkeyakinan. Jiwa di dalam Kristus adalah jiwa yang selalu bersukacita. Bersukacitalah dalam kasih sebab engkau di vonis sudah bebas dari segala tuntutan dosa dan memperoleh kehidupan baru yang disebut kehidupan kekal di dalam Kristus, Yesus. Amin.

written by: Hartati Vidiana (April, 2016)
 
Hanya Sebuah Coretan Blog Design by Ipietoon